(Habitus X Modal) + Arena = Praktik | Pierre Bourdieu


Pierre Bourdieu adalah salah satu seorang tokoh dari teori kritis, teori sosial dan filsuf di zaman modern bahkan dari berbagai karyanya dikenal juga sebagai sosiolog dan antropolog, dalam hal ini Bourdieu manyalurkan pemikiran, ide-ide, dan gagasannya tentang teori masayarakat dan sosial dengan beberapa konsep pemikiranya yaitu : Habitus, Modal (capital),Arena, kekuasaan simbolik. Pierre Felix Bourdieu lahir pada tanggal 1 Agustus 1930 di desa Denguin, distrik Pyreness-Atlantiques, Barat Daya Prancis , terlahir sebagai anak seorang pegawai pos desa.[1]Pierre Bourdieu telah mengahsilkan beberapa karya fenomenal dalam bukunya, seperti sociologie de l’Algerie (1958), The Algerians (1962), La Distinction (1979), Distinction (1984), dan lain sebagainya. Dalam hal ini penulis akan membahas mengenai teori dari Bourdieu tentang Habitus, Modal, Arena, dan Dominasi simbolik.
            Habitus menurut Pierre Bourdieu merupakan produk sejarah sebagai warisan dari masa lalu yang dipengaruhi oleh struktur yang ada. Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Bourdieu juga mengatakan bahwa, Habitus bukanlah hasil dari kehendak bebas, atau ditentukan oleh struktur, tapi diciptakan oleh semacam interaksi antar waktu: disposisi yang keduanya dibentuk oleh peristiwa masa lalu dan struktur, bentuk praktik dan struktur saat ini, serta persepsi saat ini. Dalam hal Habitus dibuat dan direproduksi oleh penguasa serta diterapkan pada orang yang dikuasai secara tidak sadar.
            Jika melihat konsep Habitus dari Bourdieu pada ranah kekuasaan dapat dilihat pada konsep kekuasaan masyarakat Jawa, dimana budaya Patrimonial masyarakat Jawa sangat kuat, sikap tunduk seorang rakyat terhadap raja (penguasa) merupakan tradisi yang dilakukan secara turun-temurun. Dalam hal ini juga dapat dilihat pada kekuasaan era modern di Indonesia yaitu ketika era Presiden Soeharto, dengan sistem sentralistiknya bergaya otoriter. Pada saat itu segala perintah Soeharto harus dilaksanakan. Ketika era Soeharto Juga konsep Habitus  juga dapat dilihat ketika Soeharto membagun oponi masyarakat tentang Partai Komunis Indonesia, bahwa PKI identik dengan kekerasan dan tidak beragama. Sehingga pada waktu itu Soeharto  dapat melangenggkan kekuasaanya dengan membangun persepsi publik.
Capital (Modal), Bourdieu melihat Modal sebagai pendasaran tentang konsep masyarakat sebagai kelas, dimana jumlah modal yang dimiliki oleh masyarakat menentukan keanggotaannya di kelas sosial. Modal juga dapat dijadikan sebagai alat untuk memproduksi kekuasaan dan ketidaksetaraan.[2] Boudieu juga mengkategorikan jenis-jenis modal yaitu berupa : economy capital, social capital, dan cultural capital dimana setiap modal memiliki komoditasnya masing-masing. Modal juga memiliki peran dalam hal kekuasaan, modal merupakan bentuk simbolik dari kekuasaan, dimana modal juga memunculkan ketimpangan di dalam masyarakat, seperti contohnya dalam hal politik siapa yang memiliki modal politik akan menguasai arena politik dan sebaliknya.
Arena menurut Bourdieu sendiri melihat Arena sebagai area pertarungan dan perjuangan, dimana setiap arena pasti memiliki aturan main dan logikanya sendiri-sendiri serta semua arena dapat membangkitkan keyakinan bagi para aktor mengenai sesuatu yang dipertaruhkan.[3] Dalam hal ini Bourdieu mencontohkan bentuk dari sebuah arena adalah kesenian, keagamaan, ekonomi, dan kekuasaan. Jika dikaitkan pada beberapa teori yang sebelumnya seseorang dapat berhasil di sebuah arena haruslah memiliki habitus atau Capital yang kuat. Sebagi contoh ketika sesorang ingin memperoleh kekuasaan harus dapat memanfaatkan Habitus  yang dimiliki dan ditambah dengan modal yang dimiliki untuk memperolh arena yang dijadikan sebagai objek dari sebuah kekuasaan. Hal ini sudah dipraktikan oleh Soeharto pada tahun 1965 yaitu pada G30S/PKI.
            Dominasi Simbolik, menurut Bourdieu adalah penindasan dengan menggunakan simbol-simbol, bentuk penindasan ini tidak dirasakan secara langsung sebagai penindasan, akan tetapi merupakan hal normal dilakukan. dengan kata lain bentuk penindasan tersebut mendapat persetujuan dari pihak yang ditindas itu sendiri.[4] Dimana Bourdieu melihat dominasi ini akan melahirkan sebuah kekuasaan simbolik, kekuasaan ini berjalan melalui relasi-relasi sosiokultural keseharian. Dalam hal ini dominasi kekuasaan simbolik dapat dilaksanakan dan berjalan secara terus menerus apabila para agen didalamnya dapat merubah dan memperbaruinya. Kekuasaan simbolik inilah yang mampu mengubah dari sekedar modal ekonomi menjadi modal simbolik yang terus diproduksi secara mandiri bukan melalui sebuah paksaan, tetapi kedermawanan. Hal itulah yang menyebabkan sebuah kekuasaan dapat berjalan secara terus menerus.
            Dengan singkat Bourdieu menjelaskan bagaimana hubungan antara Habitus, Modal, dan Arena, dimana menghasilkan sebuah Praktik untuk merebutkan kekuasaan. (Habitus X Modal) + Arena = Praktik

Oleh: Marsha Dhita Pytaloka, Ryco Imam.


[1] Mohammad Adib.Agen dan Struktur dalam Pandangan Pierre Bourdieu. Jurnal BioKultur, Vol 1, No. 2, Juli-Desember 2012, hal 91-110. Hlm 96
[2]Ibid . Hlm 106
[3]Rossy Capriati. Strategi dan Perjuangan pedagang Kaki Lima (PKL) di Kelurahan Pasar Pagi Kota Samarinda.  E-Journal Sosiatri-Sosiologi, 2013, 1 (2) : 36-50. file http://ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2013/05/Jurnal%20occy%20(05-14-13-05-20-37).pdf. Diakses  pada tanggal 26 Maret 2017 Pukul 21.30 WIB. Hlm 40
[4]Reza A.A Wattimena. Berpikir Kritis Bersama Pierre Boudieu. Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya. Diakses di https://rumahfilsafat.com/2012/04/14/sosiologi-kritis-dan-sosiologi-reflektif-pemikiran-pierre-bourdieu/ pada tanggal 26 Maret 2017 Pukul 20.05 WIB

Unknown

No comments:

Post a Comment